Cali dan Para “Pemberani” di Pesisir Ciparagejaya

Cali dan Para “Pemberani” di Pesisir Ciparagejaya

Kisah Cali dimulai pada tahun 2023, saat ia memutuskan pindah ke pesisir Ciparage setelah menjual rumah lamanya yang berada di darat. --

Bayangkan Anda ingin membeli tanah dan mendirikan rumah di tepi pantai. Anda membayangkan bisa mendengar deburan ombak dari tempat tidur, menikmati angin laut dan pemandangan matahari terbenam sambil minum kopi seperti “anak senja”. Anda juga menduga, sapaan ombak bisa menembus dinding, dan membawa kabur setengah isi rumah sebagai ancaman hidup di pesisir. Tapi Anda tetap melakukannya seperti Cali (65) si “pemberani” yang memilih tinggal di tanah berbahaya.

Selamat datang di kehidupan pria paruh baya dari Dusun Muara 01, Desa Ciparagejaya, Kecamatan Tempuran, Kabupaten Karawang, yang mungkin lebih cocok disebut sebagai “penjelajah pantai tak berizin” ketimbang pahlawan pesisir. Ia belum lama patah hati ditinggal pindah alam oleh sang istri, kini hidup beberapa langkah lebih dekat berhadapan dengan laut.

Cali memilih untuk tinggal di tepi pesisir pantai, mendirikan bangunan di atas pasir yang berbahaya. Bukan karena ia mencari ketenangan hidup di tepi laut, atau karena terpesona oleh keindahan ombak Ciparage yang menderu. Tidak juga karena ia memiliki jiwa petualang yang ingin melawan ganasnya laut. Pilihan Cali, yang lahir di Karawang pada tanggal 1 Desember 1969, jauh lebih pragmatis—dan mari kita jujur, sangat riskan: harga tanah di sana sangat murah, meskipun tanah itu sebenarnya ilegal dan dianggap “tanah tuhan”.

Kisah Cali dimulai pada tahun 2023, saat ia memutuskan pindah ke pesisir Ciparage setelah menjual rumah lamanya yang berada di darat. Kira-kira dua puluh lima meter dari rumahnya saat ini. Rumah itu harus Cali jual untuk membayar pengobatan istrinya yang sakit keras. Setelah sang istri meninggal, dengan sisa uang yang ada, Cali membeli sebidang tanah di tepi pantai dengan harga jutaan rupiah. “Murah,” katanya, meskipun tanah itu hanya dibuktikan dengan surat keterangan dari desa, bukan sertifikat resmi.

Cali tahu risikonya, namun, mungkin, merasa tidak ada pilihan lain. Tapi, mari kita jujur: memilih untuk tinggal di tanah ilegal yang jelas-jelas berbahaya ini adalah keputusan yang lebih mirip perjudian daripada keberanian.

Tahun 2023 adalah tahun baru bagi Cali, dengan segala harapan dan kecemasan yang datang bersamanya. Namun, ancaman ombak besar selalu menjadi bayang-bayang yang menakutkan. Pada tahun 2019, Cali menyaksikan dari kejauhan bagaimana rumah-rumah di pesisir Ciparage diterjang ombak besar yang menghancurkan segalanya dalam sekejap mata. Cali tahu betul apa yang bisa terjadi. Namun, dengan uang yang terbatas dan situasi yang memaksa, ia memutuskan untuk mengambil risiko tersebut.

“Mau bagaimana lagi, bukannya tak banyak pilihan,” ungkap Cali sambil mengangkat bahu.

Cali tidak sendirian dalam keberanian ini. Banyak “pemberani” lain yang juga memilih tinggal di pesisir Ciparage dengan alasan serupa. Mereka adalah wajah dari para warga yang terpaksa hidup dalam ketidakpastian di atas tanah yang tidak memiliki legalitas. Mereka tahu risiko besar yang mereka hadapi, tetapi mereka memilih untuk melupakan semua itu demi memiliki sesuatu yang bisa mereka sebut sebagai “rumah.”

“Yah, kalau sudah namanya juga terpaksa, apa mau dikata,” tambah Cali dengan nada bercanda.

Namun, di balik keputusan-keputusan ini, ada realitas yang tidak bisa diabaikan. Pesisir pantai Ciparage bukanlah tempat untuk bercanda dengan nasib. Ombak besar selalu menunggu saat yang tepat untuk datang dan meratakan apa saja yang menghalangi jalan. Tanah yang tidak memiliki sertifikat resmi adalah ladang untuk bencana, baik dari alam maupun dari hukum.

Setiap kali hujan turun deras, atau angin berhembus lebih kencang, ketakutan itu kembali hadir: apakah rumah yang dibangun di tanah tanpa kepastian ini akan bertahan dari ombak?

Upaya meredam ketakutan ini memang ada. Pertamina Hulu Energi Offshore North West Java (PHE ONWJ) mencoba mengatasi masalah abrasi di pesisir Ciparage dengan memasang alat pemecah ombak dan perangkap sedimentasi yang dikenal dengan nama appostrap.

Mulanya, pada tahun 2019-2020, mereka menggunakan ban mobil untuk membuat penghalang ombak. Namun, karena pemasangannya lebih mirip dengan bantalan sirkuit balap, hasilnya tidak seperti yang diharapkan, sehingga kemudian dilakukan evaluasi dan akhirnya digunakan ban motor yang lebih efektif.

“Kami berhasil membuat appostrap yang efektif pada tahun 2023,” ujar Satrio Firdauzi Rojak, Ketua Kelompok Kerja Pemberdayaan Masyarakat Pesisir (KKPMP) Desa Ciparagejaya.

“Hasilnya, tanah timbul bertambah sejauh 25 meter dari pantai ke daratan,” jelasnya dengan bangga.

Di tanah timbul yang bertambah itulah para warga “pemberani” termasuk Cali mendirikan bangunan hunian tinggal baru. Dengan modal surat keterangan desa, dan pembelian kurang jelas alas hak tanahnya.

Namun, teknologi ini tidak lepas dari masalah. Pada awalnya, pemasangan appostrap cukup efektif untuk meredam ombak besar dan membuat aktivitas ombak menjadi lebih tenang. Warga pesisir, termasuk Cali, sempat merasakan sedikit kelegaan karena abrasi terlihat melambat. Tapi, saat beberapa bagian appostrap mulai lepas atau hancur diterjang gelombang, perlindungan itu pun memudar. Masalah kembali hadir bersama ombak.

Rumah Cali, yang sudah berdiri di atas pasir, kini mulai mengalami kerusakan parah akibat abrasi yang kembali mengganas. Dia hanya bisa menunggu dengan harapan cemas bahwa pihak terkait segera memperbaiki atau memasang kembali appostrap yang rusak.

Namun, apakah appostrap adalah jawaban di balik pertanyaan abrasi di Ciparage? Jawabannya tidaklah sederhana. Di sisi pantai Utara Karawang yang lain, seperti pantai Pasir Putih di Desa Sukajaya, Kecamatan Cilamaya Kulon, kurang lebih menghadapi ancaman abrasi dan banjir rob yang sama seperti di pantai Ciparagejaya.

Pertamina Hulu Energi Offshore North West Java (PHE ONWJ) telah bekerja sama dengan Kelompok Sadar Wisata (Pokdarwis) Wisata Mangrove Pasir Putih untuk mengatasi masalah ini dengan menanam mangrove dan menciptakan alat pemecah ombak berbasis sistem appostrap.

Sahari, Ketua Pokdarwis Wisata Mangrove Pasir Putih, menjelaskan bahwa kondisi pesisir Pasir Putih dari tahun 2000 hingga 2014 sangat memprihatinkan, dengan abrasi yang terus mengikis daratan hingga satu meter, mendekati pemukiman warga. Mereka memulainya saat itu, belasan tahun hingga saat ini.

“Kami bersama warga tidak kenal lelah melakukan reklamasi untuk menanggulangi abrasi. Hadirnya Pertamina PHE ONWJ melalui Program Pemberdayaan Masyarakat Pesisir (PMP) membawa harapan baru,” ungkap Sahari.

Kini, kawasan tersebut telah menjadi destinasi wisata populer di Karawang, dengan tiket masuk yang terjangkau sebesar Rp5.000 per orang.

“Jadi, selain bisa menikmati keindahan alam, Anda juga berkontribusi dalam menyelamatkan pantai!” tambahnya dengan senyum.

Penerapan sistem appostrap dan penanaman pohon mangrove yang dilakukan oleh PHE ONWJ bersama Pokdarwis setempat telah memberikan dampak positif bagi pengendalian abrasi.

"Pengendalian abrasi bersama PHE ONWJ menggunakan appostrap membutuhkan sekitar 10.000 ban bekas tiap tahunnya, serta penanaman mangrove yang terus dirawat dan dipelihara oleh warga sekitar Pasir Putih. Setelah belasan tahun berjuang, hasilnya sudah mulai dirasakan dan bahkan membantu menumbuhkan perekonomian warga," tambah Sahari.

Tetapi, mari kita jujur. Appostrap dan upaya-upaya ini, meskipun membawa manfaat sementara dan perbaikan lokal, tetap bukan solusi akhir untuk masalah abrasi di Ciparage. Setiap kali program seperti ini berjalan, timbul pertanyaan: Bagaimana agar semua warga bisa tertib menjaga dan tidak mendirikan rumah baru di pesisir? Tentu kita membutuhkan pihak lainnya yang berniat sama seperti PHE ONWJ.

Belum lagi masalah dimensi lain seperti pernikahan dini yang membutuhkan lahan tinggal baru masyarakat, sementara pendapatan tidak menentu, akhirnya pesisir seolah-olah jadi solusi.

“Kalau ditanya, sepertinya pesisir pantai jadi tempat yang paling cocok untuk semua masalah ini,” ujar Cali sambil tertawa pahit.

Penanggung Jawab Program Tanggung Jawab Sosial Lingkungan (TJSL) PHE ONWJ, Imam Teguh menyatakan bahwa teknologi appostrap ini telah dipatenkan dan diharapkan bisa digunakan di wilayah lain dengan syarat tidak untuk tujuan komersial

“Kami berharap ini bisa membantu masyarakat pesisir lain,” katanya.

Pertanyaan lanjutan tetap ada: Apakah ini cukup untuk melindungi warga yang telah memilih untuk tinggal di tanah yang seharusnya tidak ditempati?

Cali dan para warga lainnya di pesisir pantai Ciparage mungkin merasa telah membuat keputusan terbaik dalam keadaan yang sulit. Namun, keputusan ini juga penuh risiko dan ancaman. Kita mungkin bisa memahami ketakutan mereka, tapi kita juga harus jujur. Tinggal di lahan ilegal yang berbahaya ini bukanlah tindakan yang bijaksana atau berani; ini adalah tindakan putus asa yang bisa mendatangkan lebih banyak kerugian.

Cali, dengan segala pengalamannya, adalah simbol dari banyak warga pesisir yang memilih hidup di atas pasir tanpa jaminan. Mereka tahu mereka mengambil risiko besar, tapi merasa tidak ada pilihan lain. Mungkin kita hanya bisa berharap ombak tetap tenang dan para pejuang pesisir ini tidak menjadi korban dari keputusan mereka sendiri. Semoga mereka bisa menyelamatkan diri sendiri dengan appostrap.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: